Kaizen

Dalam bahasa jepang, kaizen berarti perbaikan tanpa henti. Walaupun sebenarnya kata ini di bawa oleh tentara pendudukan AS untuk membangun kembali Jepang menghalau ekspansi komunis di Asia timur pasca PD II, namun pada akhirnya konsep ini jauh lebih berkembang di Jepang sendiri dibandingkan di AS.


Bagaimana menciptakan kaizen? Ada tiga tahapan dalam siklus berkelanjutan yang harus dilewati, ciptakan standar, ikuti standar, ciptakan cara yang lebih baik, dan ulangi siklus ini secara berkelanjutan. Tidak ada kata selesai bagi kaizen. Standar yang dimaksud dalam kaizen ini (atau standar yang seharusnya) bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa diubah, tetapi malah sesuatu yang dinamis dan selalu berubah. Jika ada yang lebih baik, maka standar akan dirubah sesuai dengan cara tersebut.


Untuk menciptakan kaizen tentu saja diperlukan banyak ide, ide-ide yang sebenarnya berasal dari bawah (ini karena orang-orang pelaksanalah yang tahu pasti detail pekerjaan yang dilakukan). Ide-ide dari bawah ini harus dapat mengalir dengan sendirinya, karena seharusnya bagi eksekutor ide-ide yang dikeluarkannya tentu yang mempermudah pekerjaannya. Jadi memang dari dan untuk diri sendiri, makanya ide-ide ini secara otomatis akan mengalir.


Namun, ada kebiasaan yang menghambat keluarnya ide-ide ini. Kebanyakan dari kita akan mendapat penghargaan jika mempunyai ide-ide. Jadi ide di identikkan dengan tambahan pendapatan. Kenapa hal ini salah? Jika setiap ide (yang sebenarnya memudahkan diri sendiri dalam pekerjaan) dinilai dengan uang (misalnya), maka orang hanya akan berlomba-lomba mengeluarkan ide-ide yang kebanyakan diantaranya tidak berguna / tidak menyentuh pada kemudahan pekerjaannya. Ide hanya untuk mendapatkan tambahan penghasilan.


Kesalahan seperti ini sebenarnya sudah dilatihkan sejak di bangku sekolah. Guru / dosen mendorong murid untuk belajar demi mendapatkan nilai yang bagus semata, akibatnya murid hanya mempelajari hal-hal yang akan diujikan. Belajar hanya dilakukan untuk mendapatkan nilai yang bagus, bukan untuk mendapatkan pengetahuan. Padalah bukan nilai tapi pengetahuanlah yang dibutuhkan oleh setiap murid. Sistem pendidikan yang ada "memaksa" murid untuk mencari pengetahuan sesuai dengan keinginan guru.


Sebagai contoh, seorang nenek tinggal di dekat taman yang tiap harinya berisik oleh anak-anak yang bermain. Lama-kelamaan si nenek jengkel karena menginginkan suasana yang tenang. Akhirnya suatu hari sang nenek mengumpulkan anak-anak yang biasa bermain disekitar taman dan mengatakan bahwa dia suka dengan suasana ramai yang diciptakan oleh anak-anak, tetapi akhir-akhir ini pendengarannya agak berkurang. Dia meminta anak-anak untuk tetap ramai dan memberikan Rp. 2000 per anak per hari. Beberapa hari kemudian dengan alasan keberatan untuk mengeluarkan Rp. 2000 untuk setiap anak, maka bayaran diturunkan menjadi Rp. 1500, berikutnya lagi diturunkan menjadi Rp. 1000, dan kemudian Rp. 500, dan akhirnya dengan alasan tidak mampu maka setiap anak tidak mendapatkan upah. Anak-anak pun marah dan tidak mau lagi bermain di sekitar taman itu. Sang nenek berhasil membuat suasana tenang. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa tanpa dibayarpun sebenarnya anak-anak tersebut akan terus bermain karena itu adalah kebutuhan mereka. Dengan dibayar, anak-anak justru merasa bahwa bermain adalah kebutuhan nenek, akibatnya mereka tidak mau bermain kalau tidak dibayar. Sama halnya dengan ide, ide sebenarnya muncul untuk memudahkan pekerjaan sendiri, karyawan tidak berfikir mengeluarkan ide untuk membantu manajemen, namun karena setiap ide dinilai dengan penghasilan maka karyawan merasa bahwa idenya tersebut adalah untuk manajemen, sehingga ketika penghasilan yang didapat dari ide tidak ada, ide pun menjadi macet.


“tugas abadi seorang engineer adalah meningkatkan effisiensi, kaizen”

No comments: