Pangrango Apa Kabar

Waktu sudah menunjukkan March 22, tapi musim hujan masih juga belum menunjukkan tanda-tanda akan beranjak. Entah karena musim sudah bergeser atau kalender perlu direvisi "lagi", yang jelas planningku untuk menguji fisik dan mental di gunung Pangrango atau Sindoro-Sumbing jadi tertunda.

Sejak Juli tahun lalu, belum lagi kurasakan asyiknya naik gunung. Sudah lama aku kangen pada sejuknya udara gunung, pada tebing cinta yang hampir tegak 90 derajat, pada kandang badak yang selalu memberi harapan akan dekatnya puncak, pada dinginnya udara di puncak ketika matahari terbenam, pada asap yang memerihkan mata ketika kompor spiritus dinyalakan dalam tenda sehingga asapnya memenuhi tenda, pada penjual nasi uduk yang pagi-pagi buta sudah tiba di perkemahan, dan hal-hal gila yang hanya terjadi di atas sana.

Dalam kondisi musim hujan seperti ini pasti akan sangat menantang untuk sekali lagi menginap di puncak gunung Gede Pangrango atau setidaknya di kandang badak lah. Suasana pasti akan lebih dingin dan licin, menuntut persiapan fisik, mental, dan modal yang lebih dari biasanya karena harus weatherproof, waterproof , dan juga terpeselet-proof (kalau dalam standart API ini mungkin perlu IP88 untuk menaklukkan Gede Pangrango pada musim hujan).

Btw, Pangrango apa kabar ya sekarang ini...

Paperless Project

Setiap lembar kertas dihasilkan dari serpihan-serpihan batang kayu dan bersama itu juga dihasilkan limbah cair dan gas yang berbahaya. Sering kali kita tidak sadar bahwa dari setiap lembar kertas yang kita pakai, ada sekian banyak limbah yang kita hasilkan, baik pada saat proses produksi kertas itu sendiri atau pada saat kita membuang kertas karena hasil cetakan yang tidak sesuai.

Di setiap proyek yang ada di perusahaanku, ada bertumpuk-tumpuk kertas yang dihabiskan setiap harinya. Setiap dokumen yang keluar-masuk, hasil MOM yang di distribusikan, comments untuk setiap paper work, dll semuanya dicetak menggunakan kertas. Kebiasaan kah? mungkin iya, efektifkah? mungkin tidak, apakah memang ini sudah benar? menurutku mungkin tidak.

Coba kita ambil contoh, distribusi / disposisi arrangement drawing dari tim mechanical misalnya, selama ini drawing yang dikeluarkan oleh satu departemen selalu didistribusikan ke departement-departemen lain (yang kita bicarakan disini adalah distribusi intern) dengan menggunakan kertas. Padahal jika kita perhatikan, distribusi menggunakan kertas memerlukan proses yang lebih lama karena harus fotokopi dulu baru kemudian didistribusikan ke masing-masing meja secara langsung. Kadang hanya karena masalah ini, suatu dokumen bisa terlambat didistribusikan sehingga akan menghambat progress proyek. Dan lagi, distribusi intern kan tidak ada hubungannya dengan klien sehingga tidak mengganggu formalitas dari segi prosedural.

Lesson learned untuk perbaikan kedepannya :
  1. Koordinasi setiap tim dalam proyek harus lebih bagus sehingga tidak boleh ada anggota tim yang merasa tidak menerima dokumen dengan alasan dokumen tersebut diterima tidak dalam bentuk print out.
  2. Drawing hanya di cetak jika memang sudah final atau untuk approval / construction, drawing yang hanya "for information", walaupun untuk didistribusikan ke klien (sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu di awal) di distribusikan dalam bentuk softcopy (dalam format pdf) melalui email, ingat transmital juga bisa diperoleh lewat email.
  3. Hanya "for approval / for construction" dokumen yang di distribusikan dalam bentuk print out
Kenapa harus paperless? yang pertama, distribusi dokumen tanpa kertas akan lebih cepat (menghemat waktu dan cost), dan yang pasti paperless akan lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan sampah. Saving cost and environment..




Daily Meeting : Efektifkah?

Komunikasi merupakan salah satu hal yang paling penting dalam mengeksekusi proyek. Dalam proyek, komunikasi salah satunya dilakukan dalam daily meeting. Tapi, seberapa efektifkah daily meeting dengan melibatkan semua tim mulai dari level supervisor hingga superintendent digunakan sebagai sarana komunikasi? Berikut beberapa hal yang terjadi dalam commissioning daily meeting yang menurutku perlu sedikit diperbaiki :
  1. Kebanyakan kegiatan di proyek melibatkan kegiatan-kegiatan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 1 hari, sehingga kebanyakan hal yang dibahas belum akan ada perubahan yang signifikan dari hari-ke hari. Untuk 3 jam waktu yang dihabiskan, ini tentu tidak efektif mengingat level supervisor harusnya lebih sering berada dilapangan.
  2. Daily meeting mengagendakan hal-hal yang detail sehingga memerlukan waktu yang lebih lama (hingga 3 jam), dalam yang lama ini tentu saja konsentrasi tidak dapat terfokus dan kebanyakan hanya menghasilkan rasa bosan pada meeting, hal ini harus dihindari karena seharusnya meeting adalah tempat menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan antar divisi.
  3. Dalam pembahasan yang detail, tiap tim akan mendapatkan giliran masing-masing untuk menyampaikan progressnya. Banyaknya anggota meeting yang hadir menyebabkan masing-masing orang hanya menyampaikan dalam waktu yang singkat atau dengan kata lain, porsi diam seseorang akan lebih banyak daripada porsi bicaranya. Wasting time..
Beberapa perbaikan perlu dilakukan, dengan :
  1. Meeting hanya dihadiri oleh superintendent saja, masing-masing tim hanya diwakili maksimum 1 orang saja dengan catatan bahwa masing-masing superintendent harus mengupdate progressnya dengan laporan dari masing-masing supervisor. Tidak perlu memanggil supervisor untuk meeting hanya untuk menanyakan progress pemasangan handrail. Lebih advance jika semua laporan dari masing-masing SI dapat diterima oleh general superintendent, sehingga tim konstruksi hanya perlu diwakili oleh GSI.
  2. Waktu meeting harus dibatasi hanya dengan maksimal 1 jam
  3. Tim engineering hanya perlu diwakili oleh chief field engineering saja (CFE).
  4. Tim pre-commissioning hanya perlu diwakili 1 orang saja, sehingga total anggota meeting tidak lebih dari 10 orang dimana masing-masing orang akan labih aktif.
Hal yang perlu dipikirkan adalah waktu 3 jam yang dihabiskan untuk meeting yang kadang-kadang tidak mengubah progress karena semua masih in progress dalam artian belum selesai karena memang perlu waktu yang lebih dari sehari. Meeting besar dengan melibatkan semua anggota tim dapat dilakukan pada weekly meeting.

Kaizen

Dalam bahasa jepang, kaizen berarti perbaikan tanpa henti. Walaupun sebenarnya kata ini di bawa oleh tentara pendudukan AS untuk membangun kembali Jepang menghalau ekspansi komunis di Asia timur pasca PD II, namun pada akhirnya konsep ini jauh lebih berkembang di Jepang sendiri dibandingkan di AS.


Bagaimana menciptakan kaizen? Ada tiga tahapan dalam siklus berkelanjutan yang harus dilewati, ciptakan standar, ikuti standar, ciptakan cara yang lebih baik, dan ulangi siklus ini secara berkelanjutan. Tidak ada kata selesai bagi kaizen. Standar yang dimaksud dalam kaizen ini (atau standar yang seharusnya) bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa diubah, tetapi malah sesuatu yang dinamis dan selalu berubah. Jika ada yang lebih baik, maka standar akan dirubah sesuai dengan cara tersebut.


Untuk menciptakan kaizen tentu saja diperlukan banyak ide, ide-ide yang sebenarnya berasal dari bawah (ini karena orang-orang pelaksanalah yang tahu pasti detail pekerjaan yang dilakukan). Ide-ide dari bawah ini harus dapat mengalir dengan sendirinya, karena seharusnya bagi eksekutor ide-ide yang dikeluarkannya tentu yang mempermudah pekerjaannya. Jadi memang dari dan untuk diri sendiri, makanya ide-ide ini secara otomatis akan mengalir.


Namun, ada kebiasaan yang menghambat keluarnya ide-ide ini. Kebanyakan dari kita akan mendapat penghargaan jika mempunyai ide-ide. Jadi ide di identikkan dengan tambahan pendapatan. Kenapa hal ini salah? Jika setiap ide (yang sebenarnya memudahkan diri sendiri dalam pekerjaan) dinilai dengan uang (misalnya), maka orang hanya akan berlomba-lomba mengeluarkan ide-ide yang kebanyakan diantaranya tidak berguna / tidak menyentuh pada kemudahan pekerjaannya. Ide hanya untuk mendapatkan tambahan penghasilan.


Kesalahan seperti ini sebenarnya sudah dilatihkan sejak di bangku sekolah. Guru / dosen mendorong murid untuk belajar demi mendapatkan nilai yang bagus semata, akibatnya murid hanya mempelajari hal-hal yang akan diujikan. Belajar hanya dilakukan untuk mendapatkan nilai yang bagus, bukan untuk mendapatkan pengetahuan. Padalah bukan nilai tapi pengetahuanlah yang dibutuhkan oleh setiap murid. Sistem pendidikan yang ada "memaksa" murid untuk mencari pengetahuan sesuai dengan keinginan guru.


Sebagai contoh, seorang nenek tinggal di dekat taman yang tiap harinya berisik oleh anak-anak yang bermain. Lama-kelamaan si nenek jengkel karena menginginkan suasana yang tenang. Akhirnya suatu hari sang nenek mengumpulkan anak-anak yang biasa bermain disekitar taman dan mengatakan bahwa dia suka dengan suasana ramai yang diciptakan oleh anak-anak, tetapi akhir-akhir ini pendengarannya agak berkurang. Dia meminta anak-anak untuk tetap ramai dan memberikan Rp. 2000 per anak per hari. Beberapa hari kemudian dengan alasan keberatan untuk mengeluarkan Rp. 2000 untuk setiap anak, maka bayaran diturunkan menjadi Rp. 1500, berikutnya lagi diturunkan menjadi Rp. 1000, dan kemudian Rp. 500, dan akhirnya dengan alasan tidak mampu maka setiap anak tidak mendapatkan upah. Anak-anak pun marah dan tidak mau lagi bermain di sekitar taman itu. Sang nenek berhasil membuat suasana tenang. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa tanpa dibayarpun sebenarnya anak-anak tersebut akan terus bermain karena itu adalah kebutuhan mereka. Dengan dibayar, anak-anak justru merasa bahwa bermain adalah kebutuhan nenek, akibatnya mereka tidak mau bermain kalau tidak dibayar. Sama halnya dengan ide, ide sebenarnya muncul untuk memudahkan pekerjaan sendiri, karyawan tidak berfikir mengeluarkan ide untuk membantu manajemen, namun karena setiap ide dinilai dengan penghasilan maka karyawan merasa bahwa idenya tersebut adalah untuk manajemen, sehingga ketika penghasilan yang didapat dari ide tidak ada, ide pun menjadi macet.


“tugas abadi seorang engineer adalah meningkatkan effisiensi, kaizen”