Pupuk Urea dan Pemanasan Global

Sebelum tahun 1900-an, dimana pupuk buatan belum ditemukan, manusia menggunakan kotoran hewan ternak sebagai pupuk dan juga merotasi tanaman untuk menjaga kesuburan tanah. Setelah penemuan pupuk buatan melalui sintesis urea, maka pupuk dari kotoran hewan dengan cepat digantikan oleh urea. Segera setelah itu, kualitas kesuburan tanah mulai menurun.

Kejadian nyata yang saya alami sendri, pada waktu saya mesih kecil, banyak petani menggunakan sistem rotasi tanaman dan menggunakan pupuk dari kotorran ternak (pupuk kandang) untuk mnyuburkan tanah. Selain itu, dalam jangka waktu tertentu petani menanam sejenis kacang-kacangan yang bukan untuk di makan tetapi tanaman tersebut dijadikan sebagai pupuk agar kesuburan tanah terjaga. Kacang-kacangan adalah tanaman yang dapat bersimbiosis dengan bakteri pengikat nitrogen sehingga mampu mengikat nitrogen dari udara langsung dan kemudian disimpan di akarnya. Kegiatan-kegiatan semacam ini sekarang sudah jarang dilakukan karena untuk menanam kacang-kacangan tersebut tentu saja dibutuhkan waktu dan akan mengurangi jumlah panen dalam setahun. Pupuk dari tanaman kacang-kacangan juga sudah tergantikan dengan urea. 

Bahaya urea terhadap tanah adalah tergerusnya karbon alami yang ada didalam tanah. Urea memberikan kesuburan yang berlebihan didalam tanah sehingga bakteri tumbuh dengan pesat, bakteri ini juga memerlukan zat lain untuk hidup, salah satunya adalah karbon. Setiap 1 urea diperlukan sekitar 30 karbon organik. Semakin banyak urea yang ada didalam tanah, maka semakin banyak juga karbon yang akan hilang, akibatnya kesuburan tanah akan rusak karena ketidakseimbangan jumlah nutrisi didalam tanah. Ketika tanah menjadi tidak subur lagi, maka tanaman akan sendirinya akan mati.

Dalam efeknya terhadap pemanasan global, tanah dan tumbuhan adalah salah satu "pemakan" karbondioksida yang ada diudara. Tumbuhan mengkonsumsi karbondioksida dari udara untuk fotosintesis menjadi oksigan dan karbohidrat. Selain itu, tumbuhan juga lah yang menggerakkan siklus karbon yang ada dialam dengan menyerap dari udara dan menyimpannya di dalam tanah. Jumlah karbon yang ada didalam tanah sekitar 4 kali lebih tinggi dibanding jumlah karbon di udara. Oleh karena itu, ketika tidak ada tanaman lagi, maka karbon diudara tidak dapat diserap oleh tanah. Efek dari tidak terserapnya karbon oleh tanah adalah meningkatnya jumlah karbon di atmosfer, dan ini berarti meningkatnya temperatur bumi akibat efek rumah kaca. Meningkatnya temperatur bumi akan mencairkan salju di kutub bumi. Dengan mancairnya salju maka karbondioksida yang terikat didalam salju (salju juga merupakan penyimpan karbon yang baik) terlepas ke atmosfer dan akan mamperburuk efek rumah kaca. 

Sistem pertanin yang tidak baik semacam ini dapat mengganggu keseimbangan alam. Penggunaan pupuk urea yang tidak berimbang justru menjadi salah satu penyebab rusaknya kesuburan tanah. Sekarang ini pertanian organik mulai berkembang sebagai solusi untuk masalah pupuk ini. Selain tidak menggunakan pupuk buatan, pertanian organik juga tidak menggunakan pestisida kimia yang berbahaya untuk kesehatan. Salah satu kendala untuk pertanian organik adalah harganya yang masih mahal dan pola pikir masyarakat yang masih salah dalam menggunakan pupuk.

Selain itu, penggunaan karbon organik untuk menggantikan karbon yang hilang dari tanah juga mulai dilakukan. Penambahan karbon organik ini dilakukan untuk mengimbangi jumlah karbon yang hilang akibat penggunaan pupuk. Karbon organik yang paling baik adalah kompos, dimana didalamnya juga terdapat mikroba-mikroba yang dapat menyuburkan tanah.

Penggunaan pupuk organik untuk menggantikan urea juga sudah banyak dilakukan. Berbeda dengan urea yang hanya mengandung nitrogen, pupuk organik juga mengandung banyak karbon dan nutrisi-nutrisi lain yang diperlukan tanaman. Pupuk organik dapat dibuat dari sampah-sampah organik ataupun sampah-sampah domestik dari kegiatan manusia sehingga selain berfungsi untuk menyuburkan tanah juga mengurangi jumlah gas metan yang akan terbuang ke atmosfer seandainya sampah tersebut tidak diolah. Sekali jalan, beberapa masalah terselesaikan...

Hutan

Jumlah konsumsi energi Indonesia per kapita tidaklah sebesar negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, atau Jepang. Jumlah emisi karbondioksida dari hasil pembangkitan energi maupun transportasi juga tidak besar dibandingkan dengan negara-negara maju tersebut. Namun mengapa efek rumah kaca begitu berarti untuk Indonesia? Jawabanya ada di hutan Indonesia. Hutan disini bukan sebagai absorber CO2 untuk menyelamatkan dunia, tetapi di Indonesia hutan menjadi salah satu penyebab efek rumah kaca dari deforestrasi. Dari segi efek rumah kaca, Indonesia adalah negara terbesar ketiga setelah Amerika dan China. Penyebab utamanya adalah deforestrasi.

Deforestrasi umumnya dilakukan untuk membuka hutan menjadi lahan perkebunan seperti yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Setelah kayu hutan habis di tebang, sisa-sisa kayu yang masih ada di musnahkan dengan cara dibakar. Tak jarang hutan yang masih hijau pun ikut terbakar karenanya. Asap dari pembakaran hutan inilah yang menyebabkan Indonesia menjadi penyumbang gas rumah kaca terbesar ketiga. Selain itu, pembukaan lahan hutan juga menyebabkan kemampunan untuk menyerap CO2 dari udara berkurang. Asap dari pembakaran hutan bahkan berdampak sampai ke negara-negara tetangga, mengganggu proses transportasi, dan mengganggu kesehatan. 

Deforestrasi di Indonesia sendiri menyumbang sekitar 5% dari efek rumah kaca. Setiap tahunnya sekitar 1.8 juta hektar hutan Indonesia rusak oleh ulah manusia. Hal ini menyumbang sekitar 1450 juta ton emisi CO2 ke atmosfer setiap tahunnya. Hal ini setara dengan emisi yang dikeluarkan oleh sekitar 279 juta kendaraan atau 124 juta rumah (untuk ukuran rumah negara maju). Dengan mengurangi laju perusakan hutan sekitar 10% saja sudah setara dengan mengurangi emisi 28 juta mobil. Disamping itu, masyarakat juga akan lebih sehat dengan udara yang bersih.

Hutan pada dasarnya adalah penjaga keseimbangan ekosistem. Hutan dapat menyimpan air sehingga tidak terjadi kekeringan ketika musim kemarau dan tidak terjadi banjir pada musim hujan karena air hujan akan tersimpan oleh akar tanaman. Hutan juga dapat menyerap karbondioksida dan menghasikan oksigen dari proses fotosintesis. Hutan adalah rumah bagi jutaan spesies tanaman dan hewan. Hutan jugalah yang turut mengatur siklus musim di Indonesia, setelah proses deforestrasi besar-besaran berlangsung, musim di Indonesia mulai berubah tidak teratur, hujan terjadi tidak pada waktunya. Bukan hanya sekedar pergesaran waktu hujan, tetapi musim hujan menjadi tidak teratur.

Ironisnya, pemerintah justru mendorong perusakan hutan dengan begitu mudahnya memberikan hak pengolahan hutan (HPH) kepada perusahaan-perusahaan besar untuk menjadikan hutan sebagai perkebunan. Dengan alasan ekonomi tersebut, pemerintah melegalkan perusakan hutan. HPH sebenarnya bukanlah pengelolaan hutan tetapi perusakan hutan. Ditambah lagi dengan pemerintahan yang korup, perusakan hutan manjadi semakin susah dihentikan. Dana reboisasi yang harusnya dapat digunakan untuk reforestrasi hilang entah kemana. Saat ini yang tersisa hanya berupa 100 juta hektar hutan rusak.

Upaya untuk memperbaiki kondisi hutan memang ada, namun proses ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang jauh lebih besar daripada uang yang di dapat dari merusak hutan. Walaupun sudah terlambat, namun tetap lebih baik bertindak daripada tidak sama sekali, karena masa depan kita tergantung di hutan.

Nuclear is not an Option

Dunia sekarang ini sedang menghadapi krisis energi. Energi fosil yang selama ini mensuplai sebagian besar energi dunia sudah semakin menipis dan terbukti tidak ramah lingkungan dengan menjadi penyebab utama global warming. Berbagai energi altefnatif yang lebih ramah lingkungan dikembangankan untuk mengurangi dampak efek rumah kaca dari emisi karbon dioksida yang berlebihan. 

Salah satu opsi yang diusahakan adalah nuklir. Tenaga nuklir mampu manghasilkan listrik dalam jumlah besar dengan bahan bakar yang sedikit dan tidak menghasilkan emisi karbon dioksida secara langsung sehingga beberapa orang menganggap muklir adalah sumber energi yang relatif aman. Namun di balik semua itu, nuklir menyimpan banyak kekhawatiran yang masih belum bisa diselesaikan, diantaranya:

  1. Limbah nuklir yang sangat berbahaya karena masih mengandung radioaktif yang sangat tinggi untuk waktu yang sangat lama (bisa sampai 100.0000 tahun), sampai saat ini limbah nuklir hanya disimpan saja. Bisa dibayangkan jika limbah-limbah nuklir tersebut sampai bocor ke lingkungan sekitar.
  2. Secara statistik mungkin pembangkit listrik tenaga nuklir adalah yang paling aman karena jarang sekali bermasalah, terbakar, meledak, dan sebagainya, namun sekali bermasalah maka efeknya akan luar biasa. Di Chernobyl, satu ledakan menyebabkan sekitar 4000 orang meninggal, belun lagi dengan efek radiasi terhadap kesehatan. Dan kemudian kejadian meledaknya reaktor nuklir Jepang yang masih menyisakan masalah limbah yang bekum selesai. meskipun secara statistik aman, namun bukti menunjukkan bahwa efek dari bencana nuklir sangat dahsyat.
  3. Meskipun sulit untuk dijadikan untuk senjata, namun pengembangan nuklir untuk energi sekalipun adalah jalan menuju senjata pemusnah masal. Masalah pengembangan senjata nuklir dari energi ini hanyalah alasan kecil mengapa nuklir tidak dipelukan sebenarnya, karena tanpa alasan inipun nuklir memang selayaknya tidak digunakan.
  4. Bagaimanapun sumber energi nuklir terbatas jumlahnya. Cadangan uranium di bumi makin lama akan makin habis (walaupun masih cukup lama). Pembukaan lahan pertambangan baru tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama.

Satu alasan yang pertaman saja sudah cukup untuk mengatakan tidak pada nuklir. Masih banyak energi yang jauh lebih aman dan lebih berlimpah daripada nuklir, matahari, angin, pasang surut, geothermal, dan bioenergi (biofuel, biomass, dll) tinggal disesuaikan dengan kondisi daerah mana yang paling optimal. Nuklir bukan salah satu pilihan untuk menyelesaikan masalah energi.