Bom Waktu

Kita semua tahu bahwa waktu tidak bisa dihentikan atau dipercepat, semuanya berjalan konstan, dan semua yang sudah terjadi tidak dapat di putar balik lagi. Dari sini kita harusnya sadar bahwa waktu harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin kalau tidak mau ketinggalan.

Sebagai pekerja kantoran dengan rutinitas tiap hari yang bisa dikatakan tidak banyak berubah dan ditambah lagi dengan jarak antara rumah dan kantor yang lumayan jauh, aku harus bisa membagi waktu dengan sebaik mungkin. Setelah di hitung-hitung ternyata aku mendapatkan sebagian besar waktu ku ada di rumah, yaitu sekitar 11.5 jam, yang sebagian besar kugunakan untuk tidur selama 7-8 jam, sisannya untuk bersantai, persiapan ke kantor, dll. Berikutnya adalah waktu di kantor yang sekitar 9 jam dan sisanya diperjalanan sekitar 3.5 jam dari senin sampai jumat. Jadi kalau dilihat, sebenarnya waktu efektif yang paling banyak adalah di kantor. Kalau dibuat grafiknya, waktuku seperti ini:

Dari 47% waktu yang kuhabisin dirumah, 65% nya kugunakan untuk tidur, sisanya untuk bersantai dan persiapan ke kantor. Sehingga grafik pemakaian waktuku seperti ini:

Sementara itu, dari 9 jam waktuku di kantor, 4.5 jam (50%) aku gunakan untuk kerja (sedapat mungkin serius), 2 jam untuk mengerjakan proyek pribadi, 1.5 jam untuk makan siang + sarapan, dan sisanya untuk surfing di dunia maya.

Sebenarnya kalau dihitung-hitung tidak full 8 jam kita kerja dalam sehari (aku berani bertaruh sebagian besar karyawan juga demikian), tapi memang ini bisa fleksibel, jadi kalau pekerjaan lagi peak, tentu saja waktu kerja efektif akan lebih dari 4.5 jam.

Ini hanya terjadi untuk hari kerja saja, sabtu-minggu tentu saja akan berbeda, lebih banyak digunakan untuk jalan-jalan, mengutak-atik rumah atau mobil, dan bersantai.

Ada satu hal lagi yang masih kurang, waktu untuk olah raga, ini seharusnya penting karena kebanyakan orang kantoran hanya duduk statis di depan komputer di sepanjang waktunya di kantor. Untuk yang satu ini aku memanfaatkan jalan kaki sebagai olah raga alternatif. Misalnya, pada saat harus berpindah tempat dari ruang kerja di lantai 3 ke kantin di lantai ground, sebisa mungkin tidak menggunakan lift. Naik tangga 3 lantai sebanyak 3-4 kali sehari mungkin sudah dapat menggantikan olah raga. Begitu pentingnya waktu sehingga harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin atau kita akan menghadapai BOM WAKTU...

CDM, dari Negara Maju untuk Negara Maju

Kondisi atmosfer yang makin rapuh melahirkan kesadaran-kesadaran untuk mengurangi emisi (green house gas) yang mencemari bumi. Kebanyakan penghasil emisi ini adalah negara-negara maju (atau sering disebut negara Annex 1) yang banyak mengkonsumsi bahan bakar / energy. Maka negara-negara maju didesak untuk mengurangi emisi penyebab peningkatan suhu bumi. Emisi yang sebagian besar terdiri dari karbon dioksida ini di sebabkan oleh proses industri, pembangkit listrik, transportasi, dll.


Menurunakan emisi bagi negara maju berarti penghentian pembangunan dan itu dapat berujung pada kemunduran. Oleh karena itu, mereka (negara maju) mengusulkan perdagangan karbon (emisi dalam satuan karbon dioksida ekivalen). Dengan sistem ini, agar tetap dapat melanjutkan pembangunan, negara maju akan membeli pengurangan emisi yang dilakukan oleh negara berkembang. Sistem ini mirip dengan kuota emisi yang ada di atmosfer, dimana negara maju sudah tidak diperbolehkan mengeluarkan emisi lagi, untuk menambah kuota maka negara maju harus membeli dari negara berkembang.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem ini efektif untuk mengurangi atau menjaga emisi di atmosfer untuk tidak meningkat? Negara maju tetap terus menambah emisi melalui kuota yang telah dibeli, sedangkan negara berkembang tidak dibatasi tingkat kenaikan emisinya. Di satu sisi terjadi pengurangan emisi di negara berkembang akibat pembangunan proyek-proyek CDM, tapi disisi lain konsumsi energi terus meningkat yang berarti peningkatan emisi.


Dari segi ekonomi, dengan membeli kuota, negara berkembang seharusnya mendapatkan uang untuk memperbaiki taraf hidup rakyatnya. Tetapi yang terjadi tidak sepenuhnya demikian. Ambil salah satu kasus di PT. X yang ingin memanfaatkan limbahnya untuk menjadi sesuatu. Limbah yang tadinya hanya dibiarkan saja dan mengemisikan gas metan dalam jumlah tertentu sekarang tidak lagi mengeluarkan emisi. Dari situ kemudian dihitung berapa karbon dioksida ekivalen yang dapat dikurangi. Itulah yang nanti dijual ke negara maju. Pada kenyataannya, PT. X harus berpartner dengan perusahaan asing (negara maju) karena keterbatasan dana dan koneksi CDM. Perusahaan asing inilah yang nantinya akan berhubungan dengan pihak dari negara maju untuk mendapatkan CDM. Uang dari CDM yang diperoleh kemudian di bagi berdua, dan seringkali porsi untuk perusahaan asingnya lebih besar, hingga 90% atau mungkin lebih, dan sisanya untuk PT.X.


Ada 2 hal yang bisa diambil disini:

  1. untuk menjaga emisi bumi tetap rendah (mengurangi emisi), tidak bisa dengan sistem CDM. Negara maju harus berusaha sendiri untuk mengurangi emisinya dan negara berkembang harus menjaga hutannya. Pengurangan emisi hanya bisa dilakukan dengan:
    1. mengurangi emisi dari sumbernya, atau
    2. memperbanyak tempat untuk menampung/mengurangi emisi (baca : hutan)
  2. Sistem kapitalis (baca:neoliberalis) memunculkan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.Tidak akan bisa terjadi keseimbangan atau kemerataan.
Namun begitu ada beberapa hal juga yang yang patut menjadi perhatian karena sedikit banyak CDM ini menggerakkan proyek-proyek ramah lingkungan yang sebelumnya tidak visible untuk dijalankan.