Hybrid

Air, bahan dengan rumus kimia H2O, adalah salah satu bahan yang "diperebutkan" untuk menjadi salah satu energy alternatif. Melalui reaksi elektrolisis, H2O di pecah menjadi H2 dan O2, H2 ini yang kemudian dijadikan bahan bakar.

Beberapa media mengungkap bahwa seorang bernama Joko Sutrisno dari Yogyakarta mengklaim telah menciptakan "Hydrogen Generator" yang dapat diaplikasikan dikendaraan bermotor. Alat ini berprinsip pada reaksi elektrolisis air. Bukan tidak mungkin memang mengaplikasikan elektrolisis air pada kendaraan bermotor, namun jumlah air yang diperlukan cukup besar, untuk sejumlah hidrogen setara dengan 1 liter premium diperlukan air sebanyak 4.2 liter.


High Temperature Electrolysis (HTE)

Elektrolisis dengan temperatur tinggi lebih efektif daripada elektrolisis pada temperatur kamar, seperti yang dijelaskan oleh wikipedia. Intinya adalah, bahwa pada temperatur 100 oC energi listrik yang diperlukan untuk memproduksi 1 kg H2 (141.86 MJ) adalah 350 MJ (effisiensi 41%), sedangkan pada 850 oC, energi yang diperlukan hanya 225 MJ (effisiensi 64%).

Dilihat dari nilai effisiensinya, bahkan pada temperatur tinggi pun, elektrolisis air ini memerlukan lebih banyak energi daripada yang dihasilkan. Hal ini yang menyebebkan elektrolisis air ini tidak efektif jika digunakan sendiri. Namun, jika energi (listrik maupun panas) yang dipakai adalah sisa/buangan sering disebut energy kinetic recovery atau regenerative brake maka elektrolisis air ini bisa menjadi peluang untuk menaikkan effisiensi bahan bakar pada kendaraan bermotor. Hal inilah yang menurut penulis dimanfaatkan oleh Joko Sutrisno, yaitu dengan memanfaatkan listrik dari battery kendaraan (dan seharusnya panas buang kendaraan bermotor juga bisa dimanfaatkan) untuk menghasilkan hidrogen.

Reaksi elektrolisis hanya memerlukan 1.23 volt, sedangkan battery kendaraan rata-rata memiliki 12 volt. Jika arus yang dipakai adalah 1 ampere, maka hidrogen yang diproduksi adalah 0.045 g/s atau 164 g/jam atau setara dengan sekitar 0.7 liter premium per jam nya. Dengan jumlah ini, maka alternatif hybrid ini layak untuk dikembangkan.

Blue Energy

Perlombaan mencari energy dimulai seiring dengan mulai berkurangnya produksi minyak bumi. Dimulai dari berkembangnya energy dari bahan baku hayati (green energy) yang di klaim dapat mengurangi emisi gas rumah kaca karena siklus karbonnya yang pendek. Perkembangan green energy di beberapa daerah menjadi konflik dengan pemenuhan kebutuhan pangan karena sumbernya yang sama. Disamping itu, energi-energi alternatif pun mulai bermunculan.

Salah satu nya adalah blue energy. Pada awalnya definisi blue energy adalah energi yang didapat dari laut. Ada 2 prinsip yang digunakan. Air laut mengandung garam (NaCl) yang dengan membran tertentu dapat dipisahkan antara Na+ dan Cl-, adanya perbedaan muatan ini dapat menghasilkan energi listrik lemah (yang jika dibuat dalam skala besar akan menjadi besar juga). Cara kedua adalah berprinsip pada perbedaan tekanan osmosis antara air garam (air laut) dengan air tawar, adanya perbedaan tekanan osmosis ini mengakibatkan adanya perbedaan elevasi, dari perbedaan tersebut kemudian digunakan untuk memutar kincir air kecil dan menghasilkan listrik.

Di Indonesia, istilah blue energy muncul ketika konferensi tentang pemanasan global di adakan di Bali. Seorang peneliti mengklaim mampu membuat bahan bakar setara dengan bensin, minyak tanah, dan solar dengan substitusi hidrogen kedalam rantai karbon tak jenuh dengan biaya produksi yang lebih murah daripada bahan bakar dari minyak bumi. Temuan ini masih seperti misteri, sampai sekarang belum ada kejelasan tentang prinsip dan proses pembuatannya. Secara teori, memang bisa saja membuat bensin, minyak tanah ataupun solar dengan substitusi hidrogen ke dalam rantai karbon tak jenuh. Yang jadi permasalahan sekarang adalah dari mana sumber rantai karbon tak jenuh dan hidrogennya. Teknologi yang ada sekarang ini untuk mendapatkan hidrogen adalah dengan steam reforming, tetapi cara ini memerlukan bahan baku lain yaitu gas alam. Jika memang ada cara yang lebih murah untuk mendapatkan hidrogen dari air (atau air laut) tentu itu akan menjawab masalah sumber hidrogen. Namun itu masih belum cukup, masih ada permasalahan tentang sumber "rantai karbon tak jenuh". Sumber karbon cukup banyak tersedia dalam udara, namun sampai saat ini hanya tanaman yang terbukti mampu mengolah karbon diudara menjadi karbohidrat. Karbon dalam bentuk batubara memang bisa dijadikan "rantai karbon tak jenuh" dengan katalis tertentu, namun hal ini sampai sekarang masih menjadi proses yang mahal. Sampai sekarang, teknologi "blue energy" ini masih belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, energi misterius.

Yang lebih tidak masuk akal lagi adalah klaim bahwa ada yang bisa menciptakan energi dengan gratis, free energy. Cerita-cerita mengenai free energy ini memang sudah banyak beredar di negara-nagara barat, ada yang dari laut, dari bumi, dll. Jika memang free energy ada, tentunya sekarang ini energi akan semakin murah bukannya semakin mahal seperti sekarang ini.
Free energy lebih dekat ke hoax daripada suatu harapan. Energi tidak dapat di ciptakan, hanya bisa dikonversi ataukah prinsip termodinamika ini sudah uzur...