Preparing for the coming economic collapse

Konsumsi minyak bumi yang semakin meningkat tidak sejalan dengan peningkatan produksi menyababkan harga minyak bumi meningkat terus. Minyak bumi tidak dapat ditumbuhkan dengan cepat dan cadangan yang ada jumlahnya terbatas, suatu saat nanti pasti akan habis. Trend produksi minyak bumi dunia sudah menunjukkan bahwa produksi minyak bumi sudah di titik maksimum, yang berarti produksi minyak bumi akan mulai menurun.

Sumber-sumber minyak baru memang masih ada, namun kebanyakan diperoleh dari sumber-sumber yang sulit dan mahal, seperti di lautan dalam, shale earth, tar sand, dll. Sumber-sumber ini menjanjikan produksi minyak untuk menopang peningkatan konsumsi untuk sementara waktu, dan pada akhirnya juga akan habis.

Ketidakseimbangan antara produksi dengan konsumsi ini akan dapat menimbulkan gejolak yang jika tidak diatasi segera dapat mengakibatkan kejatuhan ekonomi yang besar. Untuk menggerakkan roda ekonomi diperlukan energy yang terus meningkat, sekarang ini suplai energy paling besar adalah minyak bumi. Permasalahan energy ini tidak dapat diselesaikan oleh perorangan, harus pemerintah (semua Negara) yang turun tangan untuk menyelesaikan. Jika para pemimpin dunia gagal untuk mengidentifikasi dan mencari penyelesaian energy ini, maka kejatuhan ekonomi bukan tidak mungkin akan terjadi dengan sangat fatal.

Banyak hal yang harus dilakukan untuk mencegah kejatuhan ekonomi ini, salah satunya adalah dengan mencari sumber energy alternative untuk menggantikan minyak bumi, diantaranya:

  1. Sumber energy terbaharukan. Banyak sekali sumber energy terbaharukan yang bisa dimanfaatkan untuk menggantikan minyak bumi seperti panas bumi, matahari, biofuel, angin, dll. Indonesia yang terletak di ring of fire memiliki keuntungan dengan sumber panas bumi yang berlimpah. Sumber energy ini selain dapat diperbarui (kekal) juga lebih ramah lingkungan.
  2. Nuklir. Semua orang tahu dampak negatif pembangkit listrik tenaga nuklir seperti yang terjadi di Fukushima, Jepang. PLTN memang jarang sekali meledak, namun sekalinya meledak akan menghasilkan efek yang sangat besar. Selain itu limbah dari PLTN juga masih menjadi permasalahan yang cukup besar.
  3. Batubara, sand tar, dan shale earth oil. Sumber-sumber ini termasuk sumber energy fosil yang paling kotor. Walaupun jumlahnya masih cukup berlimpah, namun efek yang dihasilkan dari penggunaannya melebihi nilai energy yang dihasilkan. Penggunaan sumber-sumber energy ini dapat menunda krisis energy, tapi akan menghasilkan krisis yang lebih besar lagi nantinya. Menurut saya, sumber-sumber ini sebaiknya tidak digunakan.

Kelangkaan energy sangat mungkin terjadi jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan, mungkin sekarangpun sudah terlambat untuk bertindak. Kelangkaan energy yang berakibat pada kenaikan harga energy (minyak bumi, dll) akan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Efek dari inflasi ini adalah berkurangnya nilai mata uang, sehingga berinvestasi akan menjadi hal yang tidak menguntungkan karena walaupun secara jumlah uang bertambah nanum secara daya beli berkurang. Ada beberapa cara yang disarankan untuk mengantisipasi inflasi yang tinggi :

  1. Investasi emas. Emas merupakan salah satu investasi yang tidak mengenal inflasi. Jika inflasi tinggi, harga emas naik melebihi inflasi. Harga minyak bumi naik, harga emas juga naik.
  2. Investasi di bidang energy atau energy alternative. Energi merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam ekonomi, siapa yang menguasai energi akan dapat bertahan dari krisis lebih baik.

Ecological Intelligence

Teori ekonomi klasik mendorong orang untuk memproduksi barang dengan harga serendah mungkin untuk memperoleh pasar yang besar dengan keuntungan yang sebesar-besarnya nampaknya sudah mulai tidak berlaku lagi. Orang sudah mulai sadar bahwa dibalik harga yang murah terdapat hidden cost yang besar, diantaranya adalah perusakan alam. Barang dengan harga murah biasanya diproduksi tanpa memperhatikan aspek lingkungan, seperti menggunakan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan, pengolahan limbahnya tidak bagus, menebang hutan tanpa rehabilitasi, dll.

Ada tiga aspek yang ditonjolkan dalam buku Ecological Intelligent oleh Daniel Goleman; aspek lingkungan (geosphere), aspek kehidupan hayati (biosphere), dan aspek social (sosiosphere) untuk menilai apakah suatu produk itu termasuk “green”. Geosphere berarti alam dan bumi seperti air, tanah, dan udara. Produk dikatakan green jika diproduksi dengan mempedulikan alam sekitarnya, tanpa menimbulkan pencemaran terhadap tanah, air, udara, dll. Geosphere ini merupakan basic dari kriteria green dalam suatu produk. Kita dapat dengan mudah menganggap bahwa produk A adalah green jika diproduksi seperti tersebut diatas. Tetapi sebenarnya perlu diperhatikan juga aspek biosphere dan sosiosphere.

Biosphere berarti tubuh kita, kehidupan hewan dan tumbuhan. Walaupun suatu produk di buat tanpa mengeluarkan polusi tetapi jika menimbulkan bahaya kepunahan terhadap spesies tumbuhan atau hewan tertentu maka produk tersebut tidak dapat dikatakan hijau. Perburuan paus untuk dijadikan makanan termasuk salah satu kegiatan yang merusak lingkungan atau tidak ‘green’ karena dapat menimbulkan kepunahan paus dan mengganggu keseimbangan lingkungan. Pabrik pulp dan kertas seringkali menggunakan bahan baku dari menebang hutan tanpa merehabilitasi kembali. Pabrik minyak goreng (sawit) memperoleh minyak sawit dari perkebunan sawit yang dibangun dari hasil membakar hutan, merusak lingkungan, dan pada akhirnya menganggu keseimbangan lingkungan dangan monokultur. Agak susah memang menentukan suatu produk itu termasuk green atau tidak.

Aspek ketiga yang digunakan untuk menentukan apakah suatu produk tersebut green atau tidak adalah sosiosphere, yaitu yang berhubungan dengan kehidupan social. Misalnya apakah suatu produk tersebut diproduksi dengan manggunakan pekerja dibawah umur, atau dengan pekerja murah dengan gaji dibawah UMR, atau dengan tanpa memperhatikan kehidupan pekerjanya. Suatu produk tidak bisa dikatakan ‘green’ jika diproduksi tanpa memperhatikan safety para pekerjanya, tanpa memperhatikan efek jangka panjang terhadap pekerjanya, dll.

Masyarakat sekarang sudah mulai memperhatikan hal-hal seperti diatas, sehingga rela membeli barang dengan harga yang sedikit lebih tinggi tetapi di produksi dengan menggunakan energy dari matahari menggantikan listrik dari PLTU misalnya, atau produk yang diproduksi dengan memperhatikan nasib para pekerjanya, dll. Kesadaran akan lingkungan ini sudah mulai muncul terutama di kalangan Negara-negara maju atau masyarakat yang dengan latar belakang pendidikan yang lebih bagus. Produk-produk murah dari China dengan harga murah namun dibuat dengan kondisi jam kerja yang tidak wajar atau menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya sepertinya atau menggunakan energy dari pembangkit listrik PLTU yang hitam, dll sepertinya akan mulai tersingkir jika tidak segera berubah.

Kemudian bagaimana menentukan apakah suatu produk itu ‘green’ atau tidak? Bisa saja semua orang mengklaim bahwa produknya ‘green’. Untuk itu diperlukan badan pemeriksa (auditor) dari pihak ketiga yang netral untuk melakukan assessment terhadap produk-produk yang beredar dimasyarakat. Tidak mudah untuk menentukan suatu produk ‘green’ atau tidak. Membeli produk local yang setara dengan produk impor mungkin akan lebih green karena tanpa melibatkan transportasi yang jauh, transport tentu saja memerlukan energy dan mengeluarkan polusi.

Era keterbukaan sudah mulai merebak dimana-mana, masyarakat sudah mulai sadar lingkungan dan sudah mulai berfikir sebelum membeli suatu barang. Sekarang bukan lagi jamannya harus menutupi semua keburukan untuk memperoleh biaya produksi yang paling murah. Orang sudah mulai beralih ke green product.

Mobil Murah dan "Ramah Lingkungan"

Pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pengembangan mobil murah dan ramah lingkungan. Dengan berbagai kriteria, salah satunya adalah mobil dibatasi dengan kapasitas 1000 cc dan 1200 cc, kemudian harga jualnya dibawah 90 juta rupiah. Mobil ini nantinya ditargetkan untuk pengendara motor yang ingin beralih ke mobil.

Entah bagaimana cara perhitungan pemerintah tentang “ramah lingkungan”, motor bebek biasa konsumsi bahan bakar nya sekitar 1: 40 (1 liter bahan bakar untuk 40 km) bahkan lebih, sedangkan se irit-iritnya mobil masih di bawah 1:25, bagaimana bisa disebut ramah lingkungan? Sudah pasti semakin banyak bahan bakar di konsumsi per km semakin besar emisi yang dihasilkan.

Semakin banyak orang beralih dari motor ke mobil, maka semakin tidak effisien penggunaan bahan bakar. Sedangkan dengan kondisi sekarang saja, Jakarta sudah dinobatkan sebagai salah kota dengan polusi udara yang buruk, bagaimana jika nanti mobil-mobil murah membanjiri Jakarta. Belum lagi dengan kondisi yang sekarang saja, Indonesia sudah harus jadi net importer minyak bumi, bagaimana jika nanti tiba-tiba kebutuhan minyak meningkat?

Saya semakin yakin bahwa sebenarnya pemerintah tidak pernah berniat untuk memperbaiki/menjaga lingkungan. Kata-kata “Ramah lingkungan” hanyalah sloga belaka yang dipakai hanya sebagai kata-kata promosi saja, tidak lebih. Kita harus lebih berhati-hati terhadap semua label “Ramah lingkungan” karena banyak orang memanfaatkan label itu untuk kepentingan tertentu.

Beberapa hal yang harusnya dilakukan pemerintah (menurut saya):

  1. Menaikkan harga premium agar pemilik mobil manjadi aware dengan konsumsi bahan bakarnya. Dengan sendirinya mobil-mobil boros bahan bakar tidak akan laku dan mobil-mobil tua yang boros bahan bakar otomatis akan tersingkirkan
  2. Membangun sarana & pra sarana kendaraan angkutan massal yang bagus
  3. Melakukan pembatasan emisi kendaraan dengan tegas

Memang dengan begini, sector otomotif akan agak tergerus, tapi toh sector otomotif bukan benar-benar menjadi kebutuhan pokok rakyat, dan juga Indonesia juga sekedar menjadi konsumen bagi industry otomotif, dengan Jepang, Eropa, dan Amerika yang akan mengeruk keuntungannya.

Mobil murah dan “Ramah Lingkungan” ini sebaiknya di review lagi lebih dalam..