Apa Kabar Industri Gula..

Sekitar seabad yang lalu, Indonesia pernah menjadi exporter gula terbesar kedua dunia. Hal itu sudah menunjukkan bahwa perindustrian di Indonesia sudah cukup maju pada jaman dulu. Bahkan, ternyata jurusan teknik kimia dimana aku lulus juga tidak lepas dari pengaruh industri gula.

Indonesia memang sudah selayaknya menjadi produsen gula yang besar. Anugrah Tuhan berupa letak geografis yang berada di sekitar katulistiwa adalah tempat yang paling ideal untuk perkebunan tebu karena tebu merupakan tanaman yang paling efektif dalah mengubah energi matahari menjadi karbohidrat (gula). Seharusnya menjadi hal yang aneh/abnormal bila kemudian Indonesia menjadi importer gula.

Industri gula merupakan industri yang sudah matang, dari semua sisi. Industri ini sudah ada sejak jaman Belanda. Kondisi ini justru yang selama ini tidak diperhatikan, oleh pemerintah, dunia pendidikan, maupun orang-orang dari industri gula. Kondisi pabrik gula yang pada umumnya sudah tua dibiarkan terus berjalan dengan tidak efektif.

Gula sebagai salah satu bahan pangan seharusnya terdiri dari bangunan dan peralatan pabrik yang tergolong “food grade”, dimana kondisi pabrik harus bersih, peralatan-peralatannya layak di sebut “food grade”, orang-orang yang bekerjapun juga dalam kondisi bersih. Kondisi yang terjadi dilapangan sungguh sangat berbeda. Lantai, dinding, atap, dan secera keseluruhan kondisi pabrik gula sangat tidak terawat, lantai nya becek, hampir semua peralatnya berkarat, dan banyak sekali sampah-sampah pabrik.

Minimnya perawatan pabrik gula ini sebenarnya tidak lepas dari kebijakan pemerintah. Gula sebagai bahan pangan tidak boleh mahal harganya, karena itu industri gula tidak mempunyai keutungan yang cukup untuk merawat peralatannya dengan baik, perkebunan tebu tidak mempunyai cukup uang untuk memupuk dan menjaga kualitas tebu dengan baik. Dan akhirnya dengan kondisi yang sudah terlanjur seperti ini pemerintah baru mengeluarkan program “revitalisasi pabrik gula”, setelah kondisinya menjadi sedemikian buruk. Ibarat orang yang sakit, sekarang pabrik gula ini sudah sekarat baru mau di obati.

“Pengobatan” industri gula ini harusnya dilakukan tidak hanya terhadap pabrik dan perkebunan tebu saja, tetapi juga pada dunia pendidikannya, pada nilai keekonomian industri gulanya, dll. Sekarang ini sepertinya sudah tidak banyak lagi ahli-ahli gula, terlihat dari sulitnya mencari buku-buku yang membahas tentang teknologi gula. Di jurusan teknik kimia pun yang dulu dilahirkan dari industri gula, sekarang sudah tidak lagi ada mata kuliah mengenai teknologi gula, para insinyurnya pun tidak banyak yang terjun di industri maupun teknologi gula. Mungkin memang karena nilai ekonomi industri gula ini tidaklah besar.

Walaupun terlambat, semoga masih ada waktu untuk industri ini dalam memperbaiki diri. Masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali..

Belajar Project Management : Rule of Thumb Project Management

Dalam menangani suatu proyek, ada beberapa rule of thumb yang harus di pahami oleh project manager. Ramroth dalam bukunya mengatakan setidaknya ada 14 rule of thumb dalam project management, diantaranya:


  1. Jangan coba-coba. Proyek tentu saja mempunyai batasan waktu dan dana, oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya “invention”, kecuali memang proyek riset. Setiap penggunaan teknologi atau metode yang baru selalu ada resiko tambahan untuk itu perlu disisipkan factor resiko tersebut kedalam bugdet. Oleh karena itu, selalu gunakan metode atau teknologi yang sudah proven.
  2. 10 % progress terakhir menghabiskan 20% budget. Ini yang biasanya tidak banyak diperhitungkan oleh project manager, bahwa di akhir project, beban pengeluaran biasanya akan membengkak karena biasanya di akhir poyek inilah banyak dilakukan repair-repair di beberapa equipment, bahkan terkadang juga dilakukan beberapa modifikasi untuk memastikan garansi proyek sesuai dengan kontrak awal.
  3. Jika schedule yang dibuat meleset maka proyek akan over budget. Hal ini tentu dapat dipahami oleh setiap project manager, menjaga schedule tetap on track adalah sangat penting. Bahkan dengan schedule yang realistispun schedule masih bisa meleset, diantaranya adalah karena: (1. Informasi antar disiplin tidak tersampaikan dengan baik, dalam hal ini komunikasi interen sangat penting. 2. Pengalaman dalam proyek yang sama sebelumnya juga banyak menentukan dalam kelancaran proyek. 3. Proses approval yang lama dari owner)
  4. Desainer tidak pernah berhenti untuk mendesain. Dalam EPC contract, menentukan desain engineering yang fix adalah kunci untuk menjaga schedule tetap pada jalurnya. Selalu ad aide-ide baru yang terlihat lebih baik sehingga jika dibiarkan terus maka tahap engineering tidak akan selesai.
  5. Hanya project manager yang boleh berbicara kepada owner. Atau single line communication, untuk menghindari keruwetan jika semua disiplin boleh langsung berkominukasi dengan owner tanpa sepengetahuan project manager. Jika seorang engineer berbicara mengenai scope of work dengan owner tanpa sepengetahuan project manager, maka budget dan schedule yang telah disusun bisa jadi berantakan.



Hal-hal diatas setidaknya yang perlu diwaspadai baik oleh engineer maupun project manager dalam proyek EPC.