(Masih) Sekitar BBM

Anak kecil itu pernah dijanjikan akan dibalikan mobil-mobilan oleh ayahnya, dan ketika mereka sedang berjalan-jalan pada karnaval hari kemerdekaan, si anak kecil merengek-rengek minta dibelikan mobil-mobilan yang banyak dijajakan oleh pedagang keliling. Padahal, pada saat itu ayahnya sedang tidak punya uang karena telah habis untuk biaya pengobatan dan uang sekolah kakaknya. Karena tetap tidak diberikan mobil-mobilan, si anak kecilpun menangis sejadi-jadinya sehingga mengundang perhatian dan iba orang-orang sekitar.

Kejadian serupa terjadi hampir di seluruh negeri ini. Mahasiswa berdemo menuntut dibatalkannya pengurangan subsidi BBM karena presidennya pernah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM. Terbukti bahwa pendidikan di Indonesia tidak berjalan sebagaimana seharusnya, lihat saja bagaimana seorang yang sudah bergelar mahasiswa masih saja bersikap layaknya anak kecil, yang hanya mau tau bahwa keinginannya harus terpenuhi tanpa berfikir lebih panjang. Ah, kita sudah terlanjur kecanduan rupanya, kelamaan menikmati nikmatnya subsidi BBM.

Ingatkah bahwa lab-lab penelitian kosong ketika mahasiswa berdemo? lalu bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi kita bisa menyusul negara-negara lain kalau mahasiswanya hanya memikirkan bagaimana caranya merengek-rengek ke pemerintah supaya permintaannya dipenuhi. Bukannya sibuk mencari solusi bagaimana mendapatkan energy alternatif menggantikan BBM yang melambung tinggi, bukannya memikirkan teknologi yang lebih efisien sehingga lebih hemat energy, tapi malah makin membebani rakyat kecil dengan merusak fasilitas umum, mengotori jalanan, membakar ban bekas untuk manambah parahnya polusi udara di ibu kota, Ah, namanya juga anak-anak..




BBM Naik, So What..?

Antrian kendaraan di sepanjang jalan menuju SPBU menjadi hal yang biasa. Menjelang kenaikan harga BBM seperti ini, semua orang berebut untuk menjadi penimbun BBM demi keuntungan yang tidak seberapa tapi cukup menjengkelkan banyak orang. Bayangkan saja, begitu ada kabar tentang kenaikan BBM, tiba-tiba saja semua orang antri BBM dan kemudian munculah pengecer-pengecer dadakan yang menjual BBM dengan harga yang tidak wajar. Premiun yang harganya Rp. 4500 dijual hingga Rp. 15000 seliternya, padahal kenaikan BBM sendiri tidak akan (belum) mencapai angka itu.

Sungguh negara ini belum merdeka, bukan karena "nyari BBM aja kok harus antri panjang", tapi karena pikiran rakyatnya yang masih pendek, BBM naik semua ingin ambil keuntungan dengan jadi penimbun, sungguh bukan cerminan bangsa yang dewasa di usianya yang lebih dari setengah abad. Jangan heran kalau pemimpinnya pun juga masih kanak-kanak, berjanji tidak menaikan harga BBM hanya untuk menaikkan popularitas, sungguh bukan tindakan yang terpuji, menipu rakyat kecil hanya untuk sebuah kekuasaan. Adalah suatu tindakan yang bodoh dan tidak bertanggung jawab dengan berjanji tidak akan menaikkan harga BBM, tren kenaikan harga minyak menunjukkan kurva naik, tidak mungkin harga BBM tidak naik kecuali rela negara ini bangkrut.

Kaum terpelajarnya bergerak cepat dengan berdemo menolak kenaikan harga BBM dengan alasan membela rakyat kecil. Yang jadi pertanyaan adalah rakyat kecil mana yang dibela? rakyat kecil yang naik BMW atau Mercedes seri terbaru itu? masyarakat yang tiap harinya memacetkan Jakarta dengan mobil-mobil mewah itu?atau rakyat berdasi yang bepergian dengan Garuda?. Apa iya mahasiswa berdemo atas nama rakyat? apakah bukan atas nama karir politik yang menunggu setelah sukses berdemo? Sudah banyak contoh yang tidak perlu disebutkan tentang bagaimana seorang mahasiswa yang dulunya aktif berdemo menentang pemerintah kemudian menjadi politikus kotor.

Membaca hasil polling di detikcom, yang walaupun tidak mencerminkan pendapat seluruh rakyat Indonesia, tetapi setidaknya dari 1200an pembaca detikcom (hingga 24 Mei 2008), lebih dari 60% nya menganggap demo kenaikan BBM itu tudak sesuai dengan asrirasi rakyat. Nah lo..

BBM naik, itu memang suatu keharusan. Subsidi BBM adalah blunder bawaan dari pemerintah terdahulu yang hanya ingin melanggengkan kekuasaan dengan memberikan obat bius kepada rakyat kecil hanya untuk membuat mereka merasa nyaman sementara dan sekarang rakyat kecanduan. Membunuh dengan perlahan sehingga tidak ada yang merasa bahwa pemerintah bergerak untuk membunuh kita dengan mensubsidi BBM. Persis seperti obat bius, subsidi BBM juga menimbulkan rasa malas ketika sedang tidak memakai obat. Dan sekarang kecanduan subsidi BBM itu sudah terlalu akut sehingga perlu waktu yang lama untuk menyembuhkannya.

Memang akan terasa berat hidup tanpa subsidi BBM, tapi jika rasa berat itu dilatih selama lebih dari 50 tahun tentu sekarang ini rakyat akan mandiri dan kuat. Subsidi BBM sudah membius dan melemahkan otot-otot rakyat untuk bekerja lebih giat, melemahkan otak-otak kaum terpelajar untuk berfikir lebih keras mengantisipasi mahalnya harga energy. Lihat bagaimana kita membiarkan begitu saja energy matarahi tanpa berusaha mengkonversinya menjadi listrik yang efektif, lihat bagaimana kita membiarkan energy panas bumi yang begitu melimpah. Kita punya banyak sumber energy, so mengapa harus begitu tergantung pada BBM.

BBM naik, so what..? Hanya berdiam diri menerima nasib, itu apatis namanya; ikut berdemo menolak kenaikan BBM sampai titik darah penghabisan, ah jangan itu anarkis. Keluar dari tempurung, lihat ada apa di kebun kita, apakah ada ubi-ubian disitu? fermentasikan dan jadilah super premium; apakah ada jarak pagar disitu? peras minyaknya jadikan solar; apakah terasa semilir angin sejuk? buat untuk memutar baling-baling dan hubungkan dengan dinamo untuk menghasilkan listrik; apakah sinar matahari masih terik? letakkan panel surya dan jadilah listrik; apakah terliat ada air mengalir? ah, itu kan sumber listrik. Begitu banyaknya sumber energy di sekitar kita, tapi masih saja linglung ketika harga BBM dinaikkan. Bangkit saudaraku, berfikir, lawan ketercanduan "obat bius" ini, merdeka..