Melubangi Jakarta

Jakarta, daerah dengan kepadatan tinggi, selalu sering mengalami masalah yang berhubungan dengan daya dukung alam seperti banjir dan kekeringan. Hampir pada setiap tahunnya, Jakarta selalu kebanjiran pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Jumlah penduduk yang besar dan perilaku masyarakat yang tidak ‘bersahabat’ dengan alam seperti membuang sampah sembarangan, membuat bangunan-bangunan pada tanah resapan air, ‘menghalangi’ daerah resapan air dengan menutupi tanah dengan lantai semen/beton, dll.


Bukan hanya pemerintah yang harus bertanggung jawab dengan berbagai kerusakan lingkungan. Masyarakatlah yang seharusnya turut menjaga kelestarian lingkungan, setidaknya menjaga lingkungan sekitarnya.


Banjir di Jakarta pada dasarnya disebabkan karena daya serap tanah terhadap air yang berkurang, baik di Jakarta maupun daerah ‘pemasok’ air lainnya. Banyaknya bangunan di tempat resapan air dan berkurangnya jumlah pepohonan menjadi penyebab hilangnya daya serap air. Daerah di pegunungan yang tadinya berupa hutan, sekarang telah berubah menjadi daerah perumahan, villa, ataupun pertanian dan perkebunan. Selain itu, tanah di dataran rendah (Jakarta) hamper sebagian besar tertutupi oleh perumahan, dan bahkan tanah kosong di sekitar rumah pun, yang seharusnya bisa menjadi daerah resapan air walaupun sedikit, telah tertutupi dengan lantai semen. Budaya membuang sampah juga turut andil dalam mendatangkan banjir. Sampah, walaupun hanya sebesar bungkus permen, namun jika hamper sebagian besar masyarakat membuangnya tidak pada tempatnya, maka akibatnya akan cukup besar. Selain itu, penyebab rendahnya daya resap tanah adalah kondisi mikroorganisme dalam tanah. Mikroorganisme ini berperan dalam menggemburkan tanah sehingga air mudah meresap ke dalam tanah.


Kurangnya resapan air ini juga berakibat pada berkurangnya air pada musim kemarau. Air hujan sebagian besar mengalir ke laut, sedangkan air tanah telah disedot dalam jumlah yang besar, lebih besar dari julah air hujan yang meresap ke tanah. Keringnya air tanah pada musim kemarau menyababkan terjadinya intrusi air laut kelapisan air tanah, hal ini ditandai dengan air tanah yang berasa asin. Masuknya garam-garam laut ke tanah tentu saja akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem air tawar dan ekosistem dalam tanah dan juga tumbuh-tumbuhan yang berada diatas tanah. Hal ini memperparah keadaan karena akan menurunkan daya resap tanah.


Mengembalikan daya resap tanah dapat dilakukan dengan membuat biopore yang dibuat dengan membuat lubang di tanah dengan diameter 10 cm sedalam 1 m, lubang ini kemudian diisi dengan sampah organic yang tujuannya untuk memicu tumbuhnya mikroorganisme dalam tanah. Munculnya mikroorganisme dalam tanah akan menyebabkan strurtur tanah menjadi lebih gembur sehingga daya serap tanah terhadap air menjadi lebih besar.


Jika satu lubang biopore mampu menyerap air dengan kecapatan 1 liter per menit (60 liter per jam), dan jika tiap warga jakarta yang jumlahnya mencapai 8 juta masing-masing membuat 10 lubang biopore total lubang menjadi 80 juta, maka jumlah air yang bisa diserap tanah sebesar 4.8 juta m3/jam, jumlah yang cukup besar untuk meminimalkan banjir. Pertanyaannya sekarang adalah, siapkah kita melubangi Jakarta..

No comments: