‘Antri’ mungkin menjadi salah satu kata yang mudah untuk diucapkan tetapi sulit sekali untuk diterapkan. Budaya antri sepertinya memang belum menjadi budaya kita, mungkin baru bebek saja yang sudah menerapkan budaya antri. Ambil contoh ketika di tol, sudah jelas-jelas rambu-rambu dan bahkan peringatan mengatakan bahwa bahu jalan hanya digunakan untuk berhenti darurat dan dilarang digunakan sebagai jalan reguler, namun tetap saja banyak kendaraan yang melintasinya tanpa merasa bersalah dengan alasan kemacetan. Sebenarnya siapa yang membuat macet jalan tol? Ya mereka yang melewati bahu jalan itu sebenernya. Karena ketika ada kendaraan yang berhenti darurat di bahu jalan maka otomatis kendaraan lain yang lewat dibahu jalan akan mendesak kendaraan yang berada dijalur yang benar sehingga terjadi kemacetan. Nah sialnya lagi, arus kendaraan yang dibelakang (di jalur yang benar) menjadi tersendat dan begitu melihat bahu jalan kosong, segeralah ia memutar kemudi melewati bahu jalan. Efek ini akan terus berulang dan macetpun tak dapat dihindari. Kendaraan yang berhenti di bahu jalan sebenarnya tidak salah, karena memang bahu jalan itu untuk berhenti darurat, yang salah adalah orang yang menggunakan bahu jalan lah yang salah. Yang jadi korban, ya yang benar.
Salah satu faktor penyebab budaya ini belum ‘masuk’ di Indonesia (baca : Jakarta) adalah tingkat pendidikannya (pendidikan tidak selalu sama dengan sekolah, belum tentu orang yang sudah tamat S3 berpendidikan yang baik). Di Indonesia ini kan lebih banyak orang yang menggunakan ego daripada otak. Kalau dalam lelucon dibilang otak orang Indonesia ini masih fresh, belum banyak digunakan, ya memang begitu adanya.
Budaya menghargai orang lain juga masih kurang. Jadi kalau orang lain jadi susah karena ulah kita, ya biarin aja, emang gue pikirin...
Disamping itu memang benar bahwa pemerataan pembangunan masih belum dilakukan, akibatnya penduduk Indonesia sebagian besar ada di Jakarta, konsumsi sumberdaya alam termasuk juga penghasil limbah di Indonesia sebagian besar juga di Jakarta. Dengan melihat kondisi yang sedemikian parahnya, aneh jika pemda masih juga mengijinkan pembangunan gedung-gedung tinggi di Jakarta. Gedung-gedung ini kan tentunya untuk perkantoran, dan perkantoran kan selalu ada karyawannya, dan ini kan berarti penambahan jumlah manusia. Lha wong ngurusin manusia yang sekarang saja sudah ga bisa kok mau nambah lagi, ya kalau ga bisa ngurangin ya jangan nambah urusan....
No comments:
Post a Comment